Selasa, 20 Agustus 2013

Artikel Robert Steven : Bonsai & Penjing

Banyak yang bertanya : apakah Penjing sama dengan Bonsai ?

Jawabannya adalah “ya” dan “tidak”, tergantung pada konteks mana kita membicakannya.

Sampai saat ini, di banyak negara, termasuk di Indonesia, masih banyak yang salah kaprah mengenai pengertian “Penjing”. Banyak yang menganggap semua Bonsai yang bernuansa landscape atau panorama adalah Penjing, gaya grouping yang memakai pot tipis adalah Penjing, atau ada yang ada patung, pagoda atau asesori adalah Penjing. Padahal tidak demikian halnya.

Dapat kita lihat masih banyak yang menyamakan seni Penjing dengan Bonsai; tetapi di kesempatan lain, membahas Penjing sebagai satu bentuk seni tersendiri dengan pengertian konsep yang tidak jelas; bahkan ada yang menganggap Bonsai dan Penjing tidak dapat di-kontes-kan bersama.

Ini adalah karena sangat jarang ada buku, artikel atau literatur seni Penjing karangan para Master Penjing Cina yang diterjemahkan ke bahasa asing. Untuk itu, saya sangat bersyukur dapat berbahasa Cina sehingga dapat mempelajari buku maupun literatur seni Penjing dan berdiskusi dengan para master Penjing di negeri Cina yang kebetulan sangat sering saya kunjungi.

Kita mulai dari arti yang sebenarnya dari “Bonsai” dan “Penjing”. “Bonsai” adalah bahasa Jepang yang berarti “tanaman dalam pot”, sedangkan Penjing adalah bahasa Mandarin yang berarti “panorama alam dalam pot”; tetapi tidak berarti bahwa Penjing harus selalu bernuansa panorama atau yang bernuansa panorama pastilah Penjing. Yang dimaksudkan “panorama” oleh Penjing adalah suatu cuplikan alam yang indah, sehingga Penjing bisa berupa panorama yang ada pohonnya ataupun yang tidak ada pohon. Oleh sebab itu, pengertian Penjing adalah sangat luas, ada Shuihan Penjing (Water and land Penjing), Bigua Penjing (Wall-hanging Penjing), Shansui Penjing (Rock Penjing) dan yang terakhir, Shujuang Penjing yang sama dengan apa yang kita sebutkan “Bonsai” selama ini.

Kata “Bonsai” sendiri, dalam bahasa Mandarin dieja “Penzai” yang artinya “tanaman dalam pot”. Segala tanaman yang ditanam dalam pot disebut Penjai; tetapi pengertian “Bonsai” yang kita anut selama ini, oleh Cina disebut “Shujuang Penjing” atau Penjing Tanaman. Tetapi pada prakteknya saat bercerita mengenai Shujuang Penjing (atau Bonsai), kata “Shujuang” sering tidak disebut, dan hanya menyebut Penjing. Dalam konteks ini, Penjing adalah sama dengan Bonsai dengan segala gaya yang kita kenal dalam Bonsai, bisa hanya berupa sebatang pohon tunggal yang ditanam dalam pot tanpa bernuansa panorama, ada asesori atau tidak.

Jadi kalau kita melihat dalam pandangan “micro”, Penjing adalah sama dengan Bonsai karena kita berbicara dalam konteks sempit, dalam topik “Bonsai” dengan menghilangkan kata “Shujuang”. Biasanya ini adalah masalah kemudahan pengucapan atau kebiasaan dalam penterjemahan di buku atau artikel.

Tetapi kalau kita berbicara dalam konteks “macro”, Penjing adalah berbeda dengan Bonsai dalam hal beberapa cirri karakter yang khas, tetapi bukan dalam hal gaya atau ada tidaknya asesori.

Mungkin dapat kita umpamakan “Kucing adalah binatang, tetapi binatang belum tentu kucing”; jadi Bonsai adalah Penjing, tetapi Penjing belum tentu Bonsai !

Contohnya : The Singapore Penjing & Stone Appreciation Society, adalah salah satu organisasi yang memakai kata Penjing di mana tidak hanya mewadahi seni Bonsai, tetapi juga seni Penjing yang lain termasuk Shansui Penjing (Rock Penjing) walaupun lebih didominasi oleh Bonsai.

Demikian juga di Cina sendiri, banyak yang mulai memakai istilah Penzai atau bonsai daripada Penjing sebagai akibat dari interaksi global dengan dunia luar.

Filsafat dasar yang sangat menyolok dalam seni Penjing adalah “Yuan yu zi ran, Gao yu zi ran” (Terinspirasi dari alam dan mengacu pada alam) sehingga nuansa seni Penjing tidak terlepas dari kesan cuplikan alam yang cantik dan puitis; sentuhan rekayasanya tidak dominan.

Seni Bonsai lebih bersifat dogmatis dan religius, sedangkan Penjing lebih simbolik dengan naturalisme yang kental dan memberikan kebebasan berekspresi yang lebih luas.

Seni Penjing tidak menuntut kesempurnaan fisik karena fenomena alam pada dasarnya adalah yang paling sempurna termasuk ketidak-sempurnaannya; yang ada adalah keindahan yang harmonis !

Sebuah karya Penjing, apapun bentuk dan gayanya, sangat mengutamakan “yujing”, yaitu nuansa alam yang puitis; berbeda dengan Bonsai yang lebih mengutamakan kesempurnaan fisik.

Penjing lebih menitik beratkan pada keindahan dan keharmonisan keseluruhan, presentasi yang dapat memberi pesan dan kesan tersirat dan bukan kesempurnaan dogmatis yang tanpa makna. Dalam seni Penjing, selain penguasaan konsep estetika seni, penguasaan hukum alam juga sangat penting termasuk ilmu fisiologi dan morfologi tanaman. Bonsai lebih mengandalkan tehnik rekayasa untuk mencapai kesempurnaan fisik sesuai kriteria dan norma yang sering dianggap sebagai aturan yang baku.

Wawasan, pengetahuan dan latar belakang kebudayaan dan politik sangat berpengaruh pada kedua seni tersebut. Sifat rasional dan disiplin tinggi pada bangsa Jepang terefleksi dengan sangat jelas pada Bonsai; sebaliknya pada seni Penjing sangat bernuansa sentimentil. Hal ini disebabkan seni Penjing sangat banyak terinspirasi oleh lukisan klasik Cina dan puisi jaman dinasti Tang di mana saat itu banyak sekali seniman dan pujangga yang merasa frustrasi dengan keadaan politik yang menghambat karier mereka di pemerintahan, kemudian terefleksikan dalam karya-karya seni mereka yang melankolis. Salah satu gaya yang paling klasik adalah gaya “Wen ren shu” atau “Shu Hua Shi” atau yang sering kita kenal sebagai gaya literati atau bunjin. Jadi adalah salah besar kalau ada yang menganggap gaya bunjin adalah gaya kontemporer.

Berhubung keterbatasan bahasa Inggris oleh para seniman Penjing di Cina, kemudian memang sangat sulit menterjemahkan bahasa Cina ke bahasa lain terutama dalam hal seni, sehingga sangat kurang sosialisasi seni Penjing ke dunia luar. Akibatnya, banyak yang salah kaprah dan salah menginterpretasikan seni Penjing sebagai bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan Bonsai.

Apabila Shujuang Penjing adalah sama dengan Bonsai, lalu bagaimana membedakannya ? Padaq dasarnya sama, yang beda adalah beberapa sentuhan ciri karakter yang khas. Untuk membedakannya, kita perlu mempelajari kelima aliran utama Penjing yang disebut “Zhong Guo Pen Jing Wu Da Liu Pai”. Tanpa mempelajari sejarah, falsafah, konsep, tehnik dan karakter kelima aliran tersebut, kita akan sangat bingung untuk mendifinisikan Penjing dan membedakannya dengan Bonsai ala Jepang.

Lalu, apakah perlu kita membedakan Penjing dan Bonsai ? Menurut saya, hal tersebut tidak terlalu penting. Alasannya karena dalam zaman globalisasi ini, semua bentuk seni sudah saling berinteraksi termasuk seni Bonsai. Bahkan di Cina sendiri, kelima aliran yang dulunya sangat berbeda karakter, sekarang sudah semakin kabur. Walaupun secara kasat mata, kita masih dapat membedakan “Bonsai” ( Penjing) yang dibuat oleh seniman Cina, tetapi bagi saya, hal tersebut sekedar istilah dan masalah ciri-khas baik yang tersurat maupun tersirat, seperti hal-nya kita biasa membedakan Bonsai buatan Taiwan atau orang asing yang dapat membedakan Bonsai buatan seniman Indonesia.

Lalu bagaimana cara penilaian atau menjuri Penjing ?

Sama saja, tidak ada bedanya dengan cara menjuri Bonsai. Kalau karya tersebut bernuansa panorama dengan banyak pohon, ya kita nilai seperti layaknya kita menilai Bonsai gaya grouping atau forest; kalau karya tersebut bernuansa panorama tetapi hanya ada satu atau dua pohon, ya kita nilai semua elemen komposisinya; dan kalau karya tersebut seperti Bonsai, walau sangat berciri khas Penjing, ya kita nilai seperti layaknya kita menilai Bonsai.

Yang menjadi masalah, ada banyak juri Indonesia yang terjebak oleh sistem penjurian yang dibuat oranisasi, lalu kurangnya wawasan para juri yang rekruitmennya menurut saya sudah salah dari awal, sehingga banyak yang tidak mampu membaca yang tersirat. Tugas sebagian juri “instant” tersebut lebih sebagai petugas pemberi nilai layaknya guru sekolah menilai kertas ujian “multiple-choice”, tetapi tidak mampu menilai jawaban ujian yang bersifat “open question”. Mereka hanya diajarkan apakah jawaban yang benar itu a, b, c atau d, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan menilai jawaban esai yang kreatif.

Jadi kalau ada yang mengusulkan untuk memisahkan penjurian Bonsai dengan Penjing, itu karena ketidak-pahaman mereka. Kalaupun dipisah, bila mereka tidak menguasai konsep Penjing, lalu mau menilai dengan intrumen apa dan kriteria yang bagaimana ? Bagaimana kita dapat menilai sesuatu yang kita tidak memiliki barometernya ?

Masalah ini bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi di man-mana. Oleh sebab itu, saya terinspirasi untuk menulis buku ke-tiga saya yang berjudul “The Five Schools of Chinese Penjing” yang mudah-mudahan dapat terbit dalam tahun ini. Ini adalah buku sejenis pertama yang ditulis dalam bahasa asing selain bahasa Cina, mengenai segala seluk-beluk seni Penjing secara lengkap. Usaha saya ini sudah mendapat restu dari organisasi Penjing di Cina dengan dukungan bahan literature serta foto-foto karya dari para seniman Penjing di Cina.


Artikel ini ditulis oleh Robert Steven di Forum Hobby Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...