Banyak yang bertanya : apakah Penjing sama dengan Bonsai ?
Jawabannya adalah “ya” dan “tidak”, tergantung pada konteks mana kita membicakannya.
Sampai
saat ini, di banyak negara, termasuk di Indonesia, masih banyak yang
salah kaprah mengenai pengertian “Penjing”. Banyak yang menganggap semua
Bonsai yang bernuansa landscape atau panorama adalah Penjing, gaya
grouping yang memakai pot tipis adalah Penjing, atau ada yang ada
patung, pagoda atau asesori adalah Penjing. Padahal tidak demikian
halnya.
Dapat kita lihat masih banyak yang menyamakan seni
Penjing dengan Bonsai; tetapi di kesempatan lain, membahas Penjing
sebagai satu bentuk seni tersendiri dengan pengertian konsep yang tidak
jelas; bahkan ada yang menganggap Bonsai dan Penjing tidak dapat
di-kontes-kan bersama.
Ini adalah karena sangat jarang ada buku,
artikel atau literatur seni Penjing karangan para Master Penjing Cina
yang diterjemahkan ke bahasa asing. Untuk itu, saya sangat bersyukur
dapat berbahasa Cina sehingga dapat mempelajari buku maupun literatur
seni Penjing dan berdiskusi dengan para master Penjing di negeri Cina
yang kebetulan sangat sering saya kunjungi.
Kita mulai dari arti
yang sebenarnya dari “Bonsai” dan “Penjing”. “Bonsai” adalah bahasa
Jepang yang berarti “tanaman dalam pot”, sedangkan Penjing adalah bahasa
Mandarin yang berarti “panorama alam dalam pot”; tetapi tidak berarti
bahwa Penjing harus selalu bernuansa panorama atau yang bernuansa
panorama pastilah Penjing. Yang dimaksudkan “panorama” oleh Penjing
adalah suatu cuplikan alam yang indah, sehingga Penjing bisa berupa
panorama yang ada pohonnya ataupun yang tidak ada pohon. Oleh sebab itu,
pengertian Penjing adalah sangat luas, ada Shuihan Penjing (Water and
land Penjing), Bigua Penjing (Wall-hanging Penjing), Shansui Penjing
(Rock Penjing) dan yang terakhir, Shujuang Penjing yang sama dengan apa
yang kita sebutkan “Bonsai” selama ini.
Kata “Bonsai” sendiri,
dalam bahasa Mandarin dieja “Penzai” yang artinya “tanaman dalam pot”.
Segala tanaman yang ditanam dalam pot disebut Penjai; tetapi pengertian
“Bonsai” yang kita anut selama ini, oleh Cina disebut “Shujuang Penjing”
atau Penjing Tanaman. Tetapi pada prakteknya saat bercerita mengenai
Shujuang Penjing (atau Bonsai), kata “Shujuang” sering tidak disebut,
dan hanya menyebut Penjing. Dalam konteks ini, Penjing adalah sama
dengan Bonsai dengan segala gaya yang kita kenal dalam Bonsai, bisa
hanya berupa sebatang pohon tunggal yang ditanam dalam pot tanpa
bernuansa panorama, ada asesori atau tidak.
Jadi kalau kita
melihat dalam pandangan “micro”, Penjing adalah sama dengan Bonsai
karena kita berbicara dalam konteks sempit, dalam topik “Bonsai” dengan
menghilangkan kata “Shujuang”. Biasanya ini adalah masalah kemudahan
pengucapan atau kebiasaan dalam penterjemahan di buku atau artikel.
Tetapi
kalau kita berbicara dalam konteks “macro”, Penjing adalah berbeda
dengan Bonsai dalam hal beberapa cirri karakter yang khas, tetapi bukan
dalam hal gaya atau ada tidaknya asesori.
Mungkin dapat kita
umpamakan “Kucing adalah binatang, tetapi binatang belum tentu kucing”;
jadi Bonsai adalah Penjing, tetapi Penjing belum tentu Bonsai !
Contohnya
: The Singapore Penjing & Stone Appreciation Society, adalah salah
satu organisasi yang memakai kata Penjing di mana tidak hanya mewadahi
seni Bonsai, tetapi juga seni Penjing yang lain termasuk Shansui Penjing
(Rock Penjing) walaupun lebih didominasi oleh Bonsai.
Demikian
juga di Cina sendiri, banyak yang mulai memakai istilah Penzai atau
bonsai daripada Penjing sebagai akibat dari interaksi global dengan
dunia luar.
Filsafat dasar yang sangat menyolok dalam seni Penjing adalah “
Yuan yu zi ran, Gao yu zi ran”
(Terinspirasi dari alam dan mengacu pada alam) sehingga nuansa seni
Penjing tidak terlepas dari kesan cuplikan alam yang cantik dan puitis;
sentuhan rekayasanya tidak dominan.
Seni Bonsai lebih bersifat
dogmatis dan religius, sedangkan Penjing lebih simbolik dengan
naturalisme yang kental dan memberikan kebebasan berekspresi yang lebih
luas.
Seni Penjing tidak menuntut kesempurnaan fisik karena
fenomena alam pada dasarnya adalah yang paling sempurna termasuk
ketidak-sempurnaannya; yang ada adalah keindahan yang harmonis !
Sebuah
karya Penjing, apapun bentuk dan gayanya, sangat mengutamakan “yujing”,
yaitu nuansa alam yang puitis; berbeda dengan Bonsai yang lebih
mengutamakan kesempurnaan fisik.
Penjing lebih menitik beratkan
pada keindahan dan keharmonisan keseluruhan, presentasi yang dapat
memberi pesan dan kesan tersirat dan bukan kesempurnaan dogmatis yang
tanpa makna. Dalam seni Penjing, selain penguasaan konsep estetika seni,
penguasaan hukum alam juga sangat penting termasuk ilmu fisiologi dan
morfologi tanaman. Bonsai lebih mengandalkan tehnik rekayasa untuk
mencapai kesempurnaan fisik sesuai kriteria dan norma yang sering
dianggap sebagai aturan yang baku.
Wawasan, pengetahuan dan latar
belakang kebudayaan dan politik sangat berpengaruh pada kedua seni
tersebut. Sifat rasional dan disiplin tinggi pada bangsa Jepang
terefleksi dengan sangat jelas pada Bonsai; sebaliknya pada seni Penjing
sangat bernuansa sentimentil. Hal ini disebabkan seni Penjing sangat
banyak terinspirasi oleh lukisan klasik Cina dan puisi jaman dinasti
Tang di mana saat itu banyak sekali seniman dan pujangga yang merasa
frustrasi dengan keadaan politik yang menghambat karier mereka di
pemerintahan, kemudian terefleksikan dalam karya-karya seni mereka yang
melankolis. Salah satu gaya yang paling klasik adalah gaya “
Wen ren shu” atau “
Shu Hua Shi” atau yang sering kita kenal sebagai gaya literati atau
bunjin. Jadi adalah salah besar kalau ada yang menganggap gaya bunjin adalah gaya kontemporer.
Berhubung
keterbatasan bahasa Inggris oleh para seniman Penjing di Cina, kemudian
memang sangat sulit menterjemahkan bahasa Cina ke bahasa lain terutama
dalam hal seni, sehingga sangat kurang sosialisasi seni Penjing ke dunia
luar. Akibatnya, banyak yang salah kaprah dan salah menginterpretasikan
seni Penjing sebagai bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan
Bonsai.
Apabila Shujuang Penjing adalah sama dengan Bonsai, lalu
bagaimana membedakannya ? Padaq dasarnya sama, yang beda adalah
beberapa sentuhan ciri karakter yang khas. Untuk membedakannya, kita
perlu mempelajari kelima aliran utama Penjing yang disebut “
Zhong Guo Pen Jing Wu Da Liu Pai”.
Tanpa mempelajari sejarah, falsafah, konsep, tehnik dan karakter kelima
aliran tersebut, kita akan sangat bingung untuk mendifinisikan Penjing
dan membedakannya dengan Bonsai ala Jepang.
Lalu, apakah perlu
kita membedakan Penjing dan Bonsai ? Menurut saya, hal tersebut tidak
terlalu penting. Alasannya karena dalam zaman globalisasi ini, semua
bentuk seni sudah saling berinteraksi termasuk seni Bonsai. Bahkan di
Cina sendiri, kelima aliran yang dulunya sangat berbeda karakter,
sekarang sudah semakin kabur. Walaupun secara kasat mata, kita masih
dapat membedakan “Bonsai” ( Penjing) yang dibuat oleh seniman Cina,
tetapi bagi saya, hal tersebut sekedar istilah dan masalah ciri-khas
baik yang tersurat maupun tersirat, seperti hal-nya kita biasa
membedakan Bonsai buatan Taiwan atau orang asing yang dapat membedakan
Bonsai buatan seniman Indonesia.
Lalu bagaimana cara penilaian atau menjuri Penjing ?
Sama
saja, tidak ada bedanya dengan cara menjuri Bonsai. Kalau karya
tersebut bernuansa panorama dengan banyak pohon, ya kita nilai seperti
layaknya kita menilai Bonsai gaya grouping atau forest; kalau karya
tersebut bernuansa panorama tetapi hanya ada satu atau dua pohon, ya
kita nilai semua elemen komposisinya; dan kalau karya tersebut seperti
Bonsai, walau sangat berciri khas Penjing, ya kita nilai seperti
layaknya kita menilai Bonsai.
Yang menjadi masalah, ada banyak
juri Indonesia yang terjebak oleh sistem penjurian yang dibuat
oranisasi, lalu kurangnya wawasan para juri yang rekruitmennya menurut
saya sudah salah dari awal, sehingga banyak yang tidak mampu membaca
yang tersirat. Tugas sebagian juri “instant” tersebut lebih sebagai
petugas pemberi nilai layaknya guru sekolah menilai kertas ujian
“multiple-choice”, tetapi tidak mampu menilai jawaban ujian yang
bersifat “open question”. Mereka hanya diajarkan apakah jawaban yang
benar itu a, b, c atau d, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan
menilai jawaban esai yang kreatif.
Jadi kalau ada yang
mengusulkan untuk memisahkan penjurian Bonsai dengan Penjing, itu karena
ketidak-pahaman mereka. Kalaupun dipisah, bila mereka tidak menguasai
konsep Penjing, lalu mau menilai dengan intrumen apa dan kriteria yang
bagaimana ? Bagaimana kita dapat menilai sesuatu yang kita tidak
memiliki barometernya ?
Masalah ini bukan saja terjadi di
Indonesia, tetapi di man-mana. Oleh sebab itu, saya terinspirasi untuk
menulis buku ke-tiga saya yang berjudul “
The Five Schools of Chinese Penjing”
yang mudah-mudahan dapat terbit dalam tahun ini. Ini adalah buku
sejenis pertama yang ditulis dalam bahasa asing selain bahasa Cina,
mengenai segala seluk-beluk seni Penjing secara lengkap. Usaha saya ini
sudah mendapat restu dari organisasi Penjing di Cina dengan dukungan
bahan literature serta foto-foto karya dari para seniman Penjing di
Cina.
Artikel ini ditulis oleh Robert Steven di
Forum Hobby Indonesia