Kamis, 29 Agustus 2013

Cuci mata di bangkok part 2 : ngiler bonsai di kamphaeng phet road

Lebaran tahun ini terasa sangat berbeda, tak ada gema takbir, nggak ada suara bedug keliling, dan yang bener bener bikin kangen, sama sekali nggak ada ketupat, opor ayam sama sambel goreng ati buatan emak tercinta. Hambar sekaligus aneh. Kota bangkok yang memang komunitas muslimnya minoritas, membuat suasana lebaran terasa adem ayem saja.

Dua hari sesudah lebaran, masih tersisa sehari sebelum saya kembali pulang ke tanah air, saya bersama dua orang teman kembali ke chatuchak weekend market. Tujuan utama ya berburu oleh oleh buat sanak saudara dan teman teman, sekaligus berburu foto foto tanaman sebagai lanjutan dari episode pertama yang lalu.
Puas berbelanja oleh oleh, kami pun keluar dari chatuchak menuju arah tor kor market. Dari pintu keluar pasar, kami hanya perlu menyeberang jalan dan langsung menyusuri khamphaeng phet road.


Sebelum kamera butut beraksi, sejenak kami melepas lelah di sebuah street cafe, sambil menikmati penganan khas bangkok yang super murah dan enak yang kami beli di dalam pasar tadi.


Perut kenyang, haus hilang, saatnya beraksi. Saya memulai perburuan foto di pinggir jalan raya kamphaeng phet sebelum menyeberang lagi ke tor kor. Sembari permisi kepada empunya toko, saya mulai jeprat jepret di toko bonsai pertama.




bonsai soka


Saya melanjutkan perjalanan ke toko kedua yang hanya terpaut jarak kurang lebih dua puluh meter. Toko kedua ini lebih besar, dengan koleksi bonsai yang lebih banyak dan lengkap.


bonsai kimeng









bonsai bodhi




Masuk ke dalam toko ini, jajaran pot keramik tersusun rapi, dari ukuran kecil hingga ekstra besar.






puas jeprat jepret, saatnya menuju tor kor plants market, yang terletak persis di seberang dua toko bonsai ini. Tapi, kita sambung minggu depan aja ya, capek ngedit fotonya....wassalam


Posting sebelumnya :

Cuci mata di bangkok part 1 : chatuchak plants market

Selasa, 27 Agustus 2013

Artikel Robert Steven : Bonsai gaya Bunjin


 Selama ini terdapat suatu pengertian yang salah kaprah terhadap gaya “Bunjin” dalam Bonsai. Ada yang mengatakan gaya Bunjin adalah gaya “Tua renta”, Bonsai tersebut harus terkesan kurus, tinggi, tua dan merana… Saya kurang paham, dari mana asal-usul pengertian tersebut, mungkin hanya rekaan sendiri; padahal, gaya ini jelas-jelas disebut sebagai “Bunjin” (Bh. Jepang) atau “Literati” (Bh. Inggris) yang artinya adalah “Pujangga”; dalam bh. Mandarin disebut “Wen-ren”.

Menurut buku dan literatur seni Bonsai Cina, sangat gamblang diulas mengenai asal-usul, sejarah gaya tersebut baik dari segi budaya maupun politik yang mempengaruhinya serta makna filosofisnya.

Seperti kita ketahui, seni Bonsai berasal dari Cina dan sudah berkembang lebih dari 1300 tahun yang lalu pada jaman Dinasti Tang. Pada saat itu, perkembangan seni sangat pesat, baik seni lukis, patung maupun kaligrafinya dan pengetahuan sastra adalah identik dengan jabatan di pemerintahan.

Oleh sebab itu, banyak bermunculan para pujangga, sastrawan dan cendekiawan yang mempunyai posisi penting di kerajaan karena saat itu system rekrut adalah dengan ujian negara, dan penguasaan seni dan syair adalah salah satu aspek tolok ukurnya.

Bersamaan, seni Bonsai (yang saat itu disebut Penjing) berkembang pesat sebagai salah satu objek seni dalam kalangan kerajaan dan para elit.

Seni Bonsai Cina tidak terlepas dari pengaruh seni lukis Cina, syair maupun seni budaya tradisionil termasuk seni kaligrafi. Dari sinilah kemudian menjadi salah satu inspirasi para seniman Bonsai yang melahirkan gaya Bunjin yang disebut “Shu hua shi penjing” dengan meniru gaya, karakter dan estetika seni kaligrafi yang duluan berkembang; lalu dikemudian hari disebut juga “Wen ren shu” atau penjing gaya pujangga karena yang menciptakannya adalah para pujangga, bukan gaya tua renta seperti pujangga miskin yang sengsara !

Bunjin adalah sebuah gaya seni Bonsai yang sangat penuh filosofi budaya, romantika lirikal sastra, makna intelektual; kaya akan garis dan bentuk yang ekspresionis imaginatif; sehingga dalam cara appresiasinya-pun memerlukan tingkatan wawasan yang memadai dengan renungan dan penafsiran, disertai pemahaman estetika yang kontekstual.

Bunjin adalah sebuah karya yang sangat personal karena di dalamnya terkandung emosi sang artis yang sangat meditative dan contemplative. Dalam hal ini, objek pohon tersebut sekedar medium bagi sang artist dalam merefleksikan gagasan yang ingin disampaikan baik secara implicit maupun eksplicit.

Pada salah satu literatur seni Penjing yang ditulis oleh Shao Hai Zhong, seorang Master Penjing di Shanghai, dirumuskan beberapa karakter dan kriteria Bonsai gaya Bunjin sesuai dengan karakter kaligrafi Cina.

”Zhong xin ping wen”

Penerapan konsep komposisi yang asimetris tetapi berimbang dengan fondasi yang kokoh. Dalam seni kaligrafi Cina, walaupun setiap guratan garis individu bisa saja terkesan kegelisahan yang tidak berimbang, tetapi pada komposisi keseluruhan harus tetap menampilkan keseimbangan yang harmonis.

Sebagai contoh, karya salah seorang maestro kaligrafi Cina, Zhang Da qian justru terkenal karena karakter garisnya yang tidak berimbang, tetapi terbingkai dalam suatu komposisi yang unik dan berkarakter.

Dalam hal ini, ukuran dan bentuk wadah tanam menjadi salah satu elemen komposisi yan sangat penting dalam menunjang keseimbangan penampilan keseluruhan.

“Dou zhong qiu zheng”

Penerapan konsep keseimbangan visual (visual balance). Walau ritme pohon tidak tegak vertical dan penuh dengan gerak yang dinamis dan dramatis, tetapi keseimbangan visual yang harmonis sangat penting. Setiap liukan harus diimbangi dengan manuver yang menghasilkan keseimbangan visual.

“Shang mi xia shu”

Bunjin adalah suatu gaya yang meniru seni kaligrafi Cina. Struktur kanopi, penempatan percabangan dan ranting serta garis utama batang harus mengesankan kesederhanaan yang ramping dan anggun.

Bunjin harus mampu merefleksikan nuansa yang lirikal, puitis dan romantis.

“Shu mi de yu”

Lebat tetapi tidak rumit. Alur cabang dan ranting harus jelas dan transparan. Ada istilah “Mi ke yong zhen, xu ke pao ma” yang menjelaskan konsep ruang kosong. Penataan ruang kosong pada gaya ini sangat penting dan dituntut suatu kejelian tinggi dalam teori komposisi.

“Chan cha bian hua”

Alur, ritme, tekukan, pelintiran gerak batang, cabang dan ranting harus bervariasi, dinamis dan tidak monoton; tetapi tidak terkesan kontradiktif dan chaos. Dalam gaya Bunjin, garis dasar yang dipakai bisa saja tergabung dari beberapa jenis karakter garis ( ump. garis zigzag yang energik disertai dengan maneuver garis meliuk dan di-release dengan tarikan garis yang luwes); tetapi sangat dibutuhkan kepiawaian dalam pengolahan garis-garis tersebut sehingga terkemas dalam suatu harmonisasi yang sinkron dan sinergis.

“Qu rou zhi gang”

Alunan ritme dan gerak harus lembut, tetapi goresan harus penuh energi dan tenaga ibarat gerak senam “Taichi”. Kombinasi antara guratan yang tegas harus diimbangi dengan tarikan yang luwes sehingga terjadi suatu keseimbangan energi yang sinkron dan harmonis. Hal tersebut tidak terlepas dari filsafat “Yin & Yang” yang mengutamakan keseimbangan universal dengan aliran “Qi” yang sempurna.

Oleh sebab itu, ada suatu ilmu di mana melalui goresan dan gerak tulisan; karakter, emosi dan kondisi kesehatan seseorang dapat dibaca.

Dari uraian di atas, seyogianya gaya Bunjin kita terjemahkan sebagai “Gaya Kaligrafi”, dan bukan “Tua renta” !




Artikel ini ditulis oleh Robert Steven di Forum Hobby Indonesia

Jumat, 23 Agustus 2013

Cuci mata di bangkok part 1 : chatuchak plants market


Touch down suvarnabhumi


Sudah dua minggu saya telah mendarat dengan selamat, kembali ke tanah air beta tercinta. Tahun ini pekerjan saya memberi kesempatan untuk kedua kalinya, menginjakkan kaki di negeri seberang, setelah tahun lalu ke negeri jiran malaysia, tahun ini negeri gajah putih adalah tujuan selanjutnya.

Rasanya tak perlu saya jelaskan panjang lebar, tentang pekerjaan saya, yang jelas nggak ada hubungannya dengan dunia bonsai membonsai, tapi, saya bersyukur, walau dalam misi pekerjaan sebagai tujuan utama, saya masih bisa menyempatkan diri untuk berkeliling bangkok, mengagumi perbedaan budaya dan pernak pernik kehidupannya, walaupun masih dalam suasana puasa.

Singkat kata dan cerita, kali ini saya menyempatkan diri untuk mengunjungi chatuchak plants market. Sebagai kata pengantar, mungkin banyak sobat sekalian yang pernah ke bangkok sangat familiar dengan pasar chatuchak, pasar yang naudzubillah gedenya, yang hanya buka tiap weekend, dimana ribuan turis tumpah ruah berbelanja aneka barang seperti produk fashion, souvenir dan lain lain yang cukup murah di kantong, tergantung juga kepiawaian kita dalam tawar menawar. Tapi bukan yang ini yang saya maksud, mungkin banyak sobat yang belum tahu, jika pada hari rabu dan kamis, seluruh pedagang tanaman seantero bangkok berkumpul disini. Yups, sesuai dengan tema blog ini, ujung ujungnya tanaman, hehhehe, nggak ada yang lain.

Berangkat dari hotel tempat saya menginap, Grand mercure fortune bangkok, hanya sepelemparan batu, terletak stasiun MRT phra ram 9. Saya membeli tiket terusan, yang bisa diisi ulang jika saldonya telah habis, melewatu pintu otomatis, Tanpa menunggu lama, kereta bawah tanah yang bersih dan nyaman, walaupun cukup padat penumpang membawa saya ke arah tujuan stasiun akhir bang sue. Melewati beberapa stasiun pemberhentian, sekitar 15 menit, sampailah kereta di stasiun khamphaeng phet, stasiun dimana pintu keluarnya langsung terhubung dengan pasar chatuchak. Dan mulai detik inilah mata saya tercuci bersih oleh deretan pedagang tiban yang riuh rendah bertransaksi dan menawarkan dagangannya dalam bahasa yang memusingkan kepala, hehehe.

Panasnya matahari cukup menyengat, membakar habis sisa sisa cairan yang masuk pada saat sahur. Tapi, hijaunya daun dan warna warni bunga beraneka ragam mengobati dahaga saya. Deretan penjual bibit anggrek, kaktus, adenium, bakalan bonsai hingga aneka tanaman besar memenuhi pinggir kanan kiri selasar pasar yang panjang. Saatnya kamera butut saya beraksi, gubrakkkkk, mohon maaf pemirsa, kamera butut saya ngadat, baterainya habis, rasa excited yang tak terhingga membuat saya lupa men charge baterai kamera. Sumpah serapah atas kebodohan ini hampir saja terlempar, untung saja puasa menyadarkan saya, walau tentu saja nyeselnya bukan main.

Huuuuuuu, penonton pun kecewa, untuk mengobati rasa kecewa kita, berikut saya sertakan foto foto yang saya comot dari database mbah google. Setidaknya agar memberi gambaran pada sobat semua tentang chatuchak plants market.






 


Oke, cukup sekian episode pertama yang agak menjengkelkan dan kurang klimaks ini, jangan buru buru pindah channel, karena minggu depan, saya akan kembali lagi dengan foto foto orisinal, hasil jepretan kamera butut saya, yang tentunya lebih full colour, dan banyak gambar gambar seronok pose bonsai aduhai sepanjang khamphaeng phet road dan tor kor plants market. Suerrrr.

Selasa, 20 Agustus 2013

Artikel Robert Steven : Bonsai & Penjing

Banyak yang bertanya : apakah Penjing sama dengan Bonsai ?

Jawabannya adalah “ya” dan “tidak”, tergantung pada konteks mana kita membicakannya.

Sampai saat ini, di banyak negara, termasuk di Indonesia, masih banyak yang salah kaprah mengenai pengertian “Penjing”. Banyak yang menganggap semua Bonsai yang bernuansa landscape atau panorama adalah Penjing, gaya grouping yang memakai pot tipis adalah Penjing, atau ada yang ada patung, pagoda atau asesori adalah Penjing. Padahal tidak demikian halnya.

Dapat kita lihat masih banyak yang menyamakan seni Penjing dengan Bonsai; tetapi di kesempatan lain, membahas Penjing sebagai satu bentuk seni tersendiri dengan pengertian konsep yang tidak jelas; bahkan ada yang menganggap Bonsai dan Penjing tidak dapat di-kontes-kan bersama.

Ini adalah karena sangat jarang ada buku, artikel atau literatur seni Penjing karangan para Master Penjing Cina yang diterjemahkan ke bahasa asing. Untuk itu, saya sangat bersyukur dapat berbahasa Cina sehingga dapat mempelajari buku maupun literatur seni Penjing dan berdiskusi dengan para master Penjing di negeri Cina yang kebetulan sangat sering saya kunjungi.

Kita mulai dari arti yang sebenarnya dari “Bonsai” dan “Penjing”. “Bonsai” adalah bahasa Jepang yang berarti “tanaman dalam pot”, sedangkan Penjing adalah bahasa Mandarin yang berarti “panorama alam dalam pot”; tetapi tidak berarti bahwa Penjing harus selalu bernuansa panorama atau yang bernuansa panorama pastilah Penjing. Yang dimaksudkan “panorama” oleh Penjing adalah suatu cuplikan alam yang indah, sehingga Penjing bisa berupa panorama yang ada pohonnya ataupun yang tidak ada pohon. Oleh sebab itu, pengertian Penjing adalah sangat luas, ada Shuihan Penjing (Water and land Penjing), Bigua Penjing (Wall-hanging Penjing), Shansui Penjing (Rock Penjing) dan yang terakhir, Shujuang Penjing yang sama dengan apa yang kita sebutkan “Bonsai” selama ini.

Kata “Bonsai” sendiri, dalam bahasa Mandarin dieja “Penzai” yang artinya “tanaman dalam pot”. Segala tanaman yang ditanam dalam pot disebut Penjai; tetapi pengertian “Bonsai” yang kita anut selama ini, oleh Cina disebut “Shujuang Penjing” atau Penjing Tanaman. Tetapi pada prakteknya saat bercerita mengenai Shujuang Penjing (atau Bonsai), kata “Shujuang” sering tidak disebut, dan hanya menyebut Penjing. Dalam konteks ini, Penjing adalah sama dengan Bonsai dengan segala gaya yang kita kenal dalam Bonsai, bisa hanya berupa sebatang pohon tunggal yang ditanam dalam pot tanpa bernuansa panorama, ada asesori atau tidak.

Jadi kalau kita melihat dalam pandangan “micro”, Penjing adalah sama dengan Bonsai karena kita berbicara dalam konteks sempit, dalam topik “Bonsai” dengan menghilangkan kata “Shujuang”. Biasanya ini adalah masalah kemudahan pengucapan atau kebiasaan dalam penterjemahan di buku atau artikel.

Tetapi kalau kita berbicara dalam konteks “macro”, Penjing adalah berbeda dengan Bonsai dalam hal beberapa cirri karakter yang khas, tetapi bukan dalam hal gaya atau ada tidaknya asesori.

Mungkin dapat kita umpamakan “Kucing adalah binatang, tetapi binatang belum tentu kucing”; jadi Bonsai adalah Penjing, tetapi Penjing belum tentu Bonsai !

Contohnya : The Singapore Penjing & Stone Appreciation Society, adalah salah satu organisasi yang memakai kata Penjing di mana tidak hanya mewadahi seni Bonsai, tetapi juga seni Penjing yang lain termasuk Shansui Penjing (Rock Penjing) walaupun lebih didominasi oleh Bonsai.

Demikian juga di Cina sendiri, banyak yang mulai memakai istilah Penzai atau bonsai daripada Penjing sebagai akibat dari interaksi global dengan dunia luar.

Filsafat dasar yang sangat menyolok dalam seni Penjing adalah “Yuan yu zi ran, Gao yu zi ran” (Terinspirasi dari alam dan mengacu pada alam) sehingga nuansa seni Penjing tidak terlepas dari kesan cuplikan alam yang cantik dan puitis; sentuhan rekayasanya tidak dominan.

Seni Bonsai lebih bersifat dogmatis dan religius, sedangkan Penjing lebih simbolik dengan naturalisme yang kental dan memberikan kebebasan berekspresi yang lebih luas.

Seni Penjing tidak menuntut kesempurnaan fisik karena fenomena alam pada dasarnya adalah yang paling sempurna termasuk ketidak-sempurnaannya; yang ada adalah keindahan yang harmonis !

Sebuah karya Penjing, apapun bentuk dan gayanya, sangat mengutamakan “yujing”, yaitu nuansa alam yang puitis; berbeda dengan Bonsai yang lebih mengutamakan kesempurnaan fisik.

Penjing lebih menitik beratkan pada keindahan dan keharmonisan keseluruhan, presentasi yang dapat memberi pesan dan kesan tersirat dan bukan kesempurnaan dogmatis yang tanpa makna. Dalam seni Penjing, selain penguasaan konsep estetika seni, penguasaan hukum alam juga sangat penting termasuk ilmu fisiologi dan morfologi tanaman. Bonsai lebih mengandalkan tehnik rekayasa untuk mencapai kesempurnaan fisik sesuai kriteria dan norma yang sering dianggap sebagai aturan yang baku.

Wawasan, pengetahuan dan latar belakang kebudayaan dan politik sangat berpengaruh pada kedua seni tersebut. Sifat rasional dan disiplin tinggi pada bangsa Jepang terefleksi dengan sangat jelas pada Bonsai; sebaliknya pada seni Penjing sangat bernuansa sentimentil. Hal ini disebabkan seni Penjing sangat banyak terinspirasi oleh lukisan klasik Cina dan puisi jaman dinasti Tang di mana saat itu banyak sekali seniman dan pujangga yang merasa frustrasi dengan keadaan politik yang menghambat karier mereka di pemerintahan, kemudian terefleksikan dalam karya-karya seni mereka yang melankolis. Salah satu gaya yang paling klasik adalah gaya “Wen ren shu” atau “Shu Hua Shi” atau yang sering kita kenal sebagai gaya literati atau bunjin. Jadi adalah salah besar kalau ada yang menganggap gaya bunjin adalah gaya kontemporer.

Berhubung keterbatasan bahasa Inggris oleh para seniman Penjing di Cina, kemudian memang sangat sulit menterjemahkan bahasa Cina ke bahasa lain terutama dalam hal seni, sehingga sangat kurang sosialisasi seni Penjing ke dunia luar. Akibatnya, banyak yang salah kaprah dan salah menginterpretasikan seni Penjing sebagai bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan Bonsai.

Apabila Shujuang Penjing adalah sama dengan Bonsai, lalu bagaimana membedakannya ? Padaq dasarnya sama, yang beda adalah beberapa sentuhan ciri karakter yang khas. Untuk membedakannya, kita perlu mempelajari kelima aliran utama Penjing yang disebut “Zhong Guo Pen Jing Wu Da Liu Pai”. Tanpa mempelajari sejarah, falsafah, konsep, tehnik dan karakter kelima aliran tersebut, kita akan sangat bingung untuk mendifinisikan Penjing dan membedakannya dengan Bonsai ala Jepang.

Lalu, apakah perlu kita membedakan Penjing dan Bonsai ? Menurut saya, hal tersebut tidak terlalu penting. Alasannya karena dalam zaman globalisasi ini, semua bentuk seni sudah saling berinteraksi termasuk seni Bonsai. Bahkan di Cina sendiri, kelima aliran yang dulunya sangat berbeda karakter, sekarang sudah semakin kabur. Walaupun secara kasat mata, kita masih dapat membedakan “Bonsai” ( Penjing) yang dibuat oleh seniman Cina, tetapi bagi saya, hal tersebut sekedar istilah dan masalah ciri-khas baik yang tersurat maupun tersirat, seperti hal-nya kita biasa membedakan Bonsai buatan Taiwan atau orang asing yang dapat membedakan Bonsai buatan seniman Indonesia.

Lalu bagaimana cara penilaian atau menjuri Penjing ?

Sama saja, tidak ada bedanya dengan cara menjuri Bonsai. Kalau karya tersebut bernuansa panorama dengan banyak pohon, ya kita nilai seperti layaknya kita menilai Bonsai gaya grouping atau forest; kalau karya tersebut bernuansa panorama tetapi hanya ada satu atau dua pohon, ya kita nilai semua elemen komposisinya; dan kalau karya tersebut seperti Bonsai, walau sangat berciri khas Penjing, ya kita nilai seperti layaknya kita menilai Bonsai.

Yang menjadi masalah, ada banyak juri Indonesia yang terjebak oleh sistem penjurian yang dibuat oranisasi, lalu kurangnya wawasan para juri yang rekruitmennya menurut saya sudah salah dari awal, sehingga banyak yang tidak mampu membaca yang tersirat. Tugas sebagian juri “instant” tersebut lebih sebagai petugas pemberi nilai layaknya guru sekolah menilai kertas ujian “multiple-choice”, tetapi tidak mampu menilai jawaban ujian yang bersifat “open question”. Mereka hanya diajarkan apakah jawaban yang benar itu a, b, c atau d, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan menilai jawaban esai yang kreatif.

Jadi kalau ada yang mengusulkan untuk memisahkan penjurian Bonsai dengan Penjing, itu karena ketidak-pahaman mereka. Kalaupun dipisah, bila mereka tidak menguasai konsep Penjing, lalu mau menilai dengan intrumen apa dan kriteria yang bagaimana ? Bagaimana kita dapat menilai sesuatu yang kita tidak memiliki barometernya ?

Masalah ini bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi di man-mana. Oleh sebab itu, saya terinspirasi untuk menulis buku ke-tiga saya yang berjudul “The Five Schools of Chinese Penjing” yang mudah-mudahan dapat terbit dalam tahun ini. Ini adalah buku sejenis pertama yang ditulis dalam bahasa asing selain bahasa Cina, mengenai segala seluk-beluk seni Penjing secara lengkap. Usaha saya ini sudah mendapat restu dari organisasi Penjing di Cina dengan dukungan bahan literature serta foto-foto karya dari para seniman Penjing di Cina.


Artikel ini ditulis oleh Robert Steven di Forum Hobby Indonesia

Kamis, 15 Agustus 2013

I'm back..........!!!!!!!!!!

Tak terasa, sudah beberapa bulan sejak posting terakhir, kangen rasanya cas cis cus berbagi kisah disini, di blog yang apa adanya ini, setelah modem saya, produk juragan lapindo yang sekarang demen singkat namanya buat nyalon jadi presiden, ngadat, makan gaji buta, eh salah, makan pulsa paket internetan membabi buta, tanpa timbal balik yang berarti, masih mending kalo lemot, lha ini, nggak jalan sama sekali, maka saya putuskan untuk mengirim modem tersebut ke tempat sampah, saking frustasinya saya dengan gombalan internet super cepat, stabil, bla.....bla....bla, halaaah prettt.

Dan dengan  ditambah kesibukan saya sebagai kuli angkut swasta....maka mati suri lah blog tercinta ini beberapa bulan dengan suksesnya. Pengen posting pake gadget china robot hijau piaraan mbah gugel juga kurang mantep.

Tapi, lebaran membawa berkah, minal aidin wal faidzin, dapat rejeki lebih, bisa saya sisakan THR buat beli modem baru, untuk mengobati kerinduan berselancar di dunia maya dengan PC butut saya yang legendaris, dan juga sekaligus menjawab pertanyaan dari beberapa sobat yang sempat berkirim email ( terima kasih atas perhatiannya ya prend ), menanyakan kelanjutan cerita bonsai saya yang mengharu biru.....preeeeet, dengan ini saya nyataken, I'm back...!!!!!!

Salam bonsai teman teman semua, bonsai arai telah kembali, dengan segudang cerita yang agak basi dikit, juga beberapa basi banget, agak jamuran karena lama disimpan, dan cerita cerita episode baru yang makin mencekam,....halaaah opppoooo iki.

oke kita sambung besok besok ya, saya mau pesbukan, sambil baca cerita cerita panas dari forum seberang, hhehehe........gubrakkk.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...